Minggu, 14 Desember 2008

BERSELIMUT BUMI



Selama hampir satu jam, aku di bimbangkan dengan dua pilihan. Tetap menunggu, atau bergegas. Tepat aku hendak beranjak, aku melihat sesosok yang sedari tadi aku nantikan menuju ke arahku.
“ Siang Anti, sudah lama datang?” sapa Yulia
“ Lumayan.” Sahutku singkat. Dengan tujuan Yulia merasa bersalah atas keterlambatannya. Namun, tindakku sia-sia. Ia sama sekali tak peduli.
“ Kamu baik-baik saja kan?” tanyanya sambil menarik kursi tepat di depanku.
“ Syukurlah, kamu sendiri?” jawabku sambil balik bertanya. Ia hanya memandangku. Di raut wajahnya, nampak dengan jelas, ia sedang menanggung beban yang amat berat. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak menjawab.
“Apa aktifitas kamu sekarang?” tanyanya “ pasti kuliah kan?” tebaknya dengan nada dingin.
“ Nggak lagi” jawabku
“ Kenapa?!”
“Em…”
“ Orang kaya, dengan mudah menghambur uang tanpa tujuan. Orang miskin, dengan sulit, bahkan teramat sulit mencari uang hanya demi sesuap nasi.” Sergahnya tanpa memperdulikan kalimat ku yang belum usai. Aku tak tau kalimat itu untuk siapa. Karena yang di tuju adalah orang kaya. Sementara aku, nggak merasa tuh! Ya… walau orang tuaku bisa dibilang lumayan mampu, tapi itu orang tuaku, bukan aku.
“ Yulia ….,” kataku pelan “ kamu nggak apa-apa kan? Aku minta maaf kalau…”
“ Oh, nggak kok.” Jawabnya seakan tersadar. “ Justru aku yang minta maaf.” Lanjutnya seakan menyesali kalimat yang baru ia lontarkan.
“ Kamu punya masalah?” “ Nggak juga.” Jawabnya sambil memaksakan senyum.
Yulia teman sebangku SMA. Ia gadis yang cerdas dan simple. Namun tak tau kenapa, mendadak ia putus sekolah ketika masih menduduki kelas dua. Mungkin, sekitar dua tahunan kami tak pernah berjumpa. Pertemuan kali ini, merupakan pertemuan ke dua dari hari kemarin. Ia menegurku ketika aku hampir saja masuk ke toko buku. Ia nampak terburu-buru, sehingga ia putuskan untuk bertemu lagi saat ini. Di warung padang ini. Yulia memesan es jeruk dari tempat duduknya. Entah kenapa sejak tadi Yulia terus mencermati pintu masuk.
“ Oh ya, kamu kan sudah nggak kuliah lagi, apa aktifitas kamu di rumah?” tanyanya sambil sesekali mencermati pintu masuk.
“ Nggak ada aktifitas yang rutin sih…, paling-paling buat cerpen, karena Cuma itu hobby yang aku punya.”
“ Pernah di publikasikan?” “ Ia, dan sudah banyak yang termuat. Honornya lumayan lho..” jawabku dengan penuh kebanggaan.
Ia nampak kian sedih setelah mendengar jawabanku. Aku sangat ceroboh. Tak seharunya aku memamerkan kebanggaanku dalam situasi seperti ini. Kami berdua saling bungkam. Aku membungkam karena merasa bersalah, sementara Yulia seakan kian larut dalam kesedihan yang tak aku ketahui.
“ Temanku sudah datang!” Suara Yulia memecahkan kebekuan.
Kini raut wajahnya nampak riang. Kesedihan di wajahnya kini tak terlihat lagi.
“Anti, aku duluan ya.” Serunya.
Sebelum beranjak, ia mengeluarkan sebuah amplop dan secarik kartu nama. Lalu ia berikan kepadaku sambil berbisik,
“ Sesekali masukkan kisah tentang aku dalam cerpen kamu ya.” Lalu ia melesat pergi bersama teman cewek yang sedari tadi ia nanti-natikan yang aku sendiri tak tau siapa dia.
***
Pertemuan yang menegangkan. Yulia tak seramah di masa SLTA. Aku berharap, isi amplop yang ia berikan tadi, dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Dear, Anti.
Anti, aku butuh bantuan kamu. Pendidikanku yang tak tuntas SLTA, menbuatku kesulitan meraih rizky. Aktifitas tarik becak bapakku, kini beliau sudah tak mampu lagi. Mungkin itu salah satu alasan, kenapa aku putus sekolah tiba-tiba. Di saat semua seakan gelap, ada seorang teman yang menawarkan jasanya. Ia memperkenalakan aku dengan aktifitas yang menghasilkan uang. Ku ikuti jejaknya. Sangking butuhnya aku dengan uang, hingga aku tak peduli walau aktifitas itu sebenarnya terlarang. Menjual sabu-sabu dan sejenisnya, itulah aktifitasku. Suatu saat kau akan bertemu dengan temanku itu, karena hanya dialah temanku saat ini. Kau boleh maki aku Anti, tapi jangan benci aku. Karena aku butuh bantuan kamu. Jika kau masih menganggapku sahabat, bantu aku meninggalkan aktifitas terlarang ini. Lalu perkenalkan, dengan aktifitas yang menuju RidhoNya.
Your Friend.
Usai membaca surat, terjawab sudah semuanya. Bukan hanya perubahan Yulia, tapi juga kenapa ia putus sekolah dengan tiba-tiba. Dan siapa cewek yang menjemput Yulia di Warung tadi.
***
Kini aku tak sabar lagi menyampaikan berita ini. Yulia pasti senang mendengarnya. Aku sendiri masih tak percaya. Pamanku langsung setuju ketika aku meminta pamanku menerima Yulia tuk bekerja di kios bunga milik Paman.
Aku merogoh dompetku. Mencari secarik kartu nama yang Yulia berikan kemarin. Akhirnya aku temukan juga. Ku lihat hanya berisi alamat rumah. Namun di baliknya tertera nomor Telephon lengkap dengan keterangan. “Milik tetanggaku” Yulia pinter juga. Kuputuskan menelphon dulu, untuk memastikan dia ada di rumah atau sedang keluar. Ku pencet nomor telephon tersebut, beberapa detik kemudian terdengar nada sambung lalu di susul suara lawan bicara.
“ Selamat pagi, dengan siapa?” terdengar suara Ibu-Ibu di seberang.
“ Pagi. Maaf, benar anda tetangga Yulia?” jawabku balik bertanya.
“Saya sahabatnya.” Lanjutku.
“ Kamu menelphon di waktu yang tepat nak.” Serunya.
“ Maksud anda?” Ibu di seberang terdiam. Lalu terdengar isak tangis.
“ Cepetan ke sini nak, sebentar lagi mayatnya akan di kubur.” Ibu itu menjelaskan sambil masih terisak.
Tiba-tiba saja jantungku berdetak sangat kencang. Tangankupun tiba-tiba berkeringat. Kini aku hanya bisa tercengang. Sama sekali tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Air mataku bercucuran, membanjiri kedua pelupuk mataku. Tanpa salam penutup, aku langsung mematikan telephon, lalu mengeluarkan motorku. Aku berusaha mamasukkan kunci kontak, tapi tanganku terlalu gemetar. “ Ayo dong. Ayo…” gumamku, “ Aku tidak mau ketinggalan pemakaman sahabatku.” Ku gunakan sebelah tanganku tuk masukkan kunci kontak. Kini motorku mau menyala lalu siap melaju.
Memikirkan Yulia, membuat otakku beku. Kini aku harus berbelok ke kiri. Walau aku tidak pernah ke rumah Yulia, tapi aku sering lewat. Karena rumah Yulia, searah dengan jalur tempat wisata Selokambang Lumajang. Aku hanya butuh nomor rumah Yulia. Jalan menuju kerumahnya sudah tak asing lagi. Sehingga gerakan nyetirkupun, seakan sudah otomatis. Oke, tenang, pikirku. Rumah Yulia sudah hampir sampai. Beberapa detik kemudian, aku melihat bendera warna hijau. Tanda ada yang sudah meninggal. Aku langsung memarkir motorku secara pararel di depan rumah Yulia. Aku langsung masuk rumah yang sudah di banjiri puluhan orang berwajah duka. Aku berjalan melewati puluhan orang tersebut. Sesosok mayat yang sudah terbungkus kain kafan, terbujur dalam peti mati yang masih terbuka. Air mata menggenangi pelupuk mataku. Sekujur tubuhku terasa lumpuh. Pandanganku kini mulai kabur. Suara orang-orang di sekitar terdengar sayup-sayup. Jauuuuh…. Sekali.
***
Sungguh sulit dipercaya. Yulia yang baru kemarin berbincang denganku, kini ia telah berselimut bumi. Informasi yang ada menjelaskan, Yulia menelan sendiri barang yang di milikinya ketika Polisi datang ke rumahnya. selamat jalan Yulia…, semoga engkau di terima di sisihNya. Maafkan aku, karena aku tak mampu menolongmu. Mungkin, aku hanya bisa menceritakan kisahmu dalam cerpenku. Karena kemarin engkau sempat memintanya.
THE END